
Proses Menjadi Seorang Hamba
“Onye yang superior”, begitulah kesimpulan dari semua tulisan, komentar, kesan dan kenangan dari orang-orang yang mengenal maupun dekat dengan kehidupan Onye.
Sebagai adik (bungsu laki-laki), saya sangat bersyukur memiliki abang seperti Onye, Cican dan Iwan. Bagi saya, mereka bertiga konsisten mengikuti prinsip yang sudah menjadi semboyan keluarga; Menjadi manusia yang “physically strong, morally straight, dan mentally awake”.
Motto itu pernah ditulis dengan spidol hitam pada softboard di dinding kamar rumah kontrakan Onye dan teman-teman di Ciheulang. Semboyan itu sepertinya tumbuh perlahan di dasar hati kami anak-anak keluarga HT. Sihombing, sampai semua beranjak dewasa.
Semboyan itu melekat karena papi, yang selama hidupnya sangat sering membagikan pengalaman, prinsip, dan cara-caranya dalam menyikapi hidup. Hampir setiap hari, setelah selesai makan malam, kami berkumpul sebentar mendengarkan papi bercerita. Onye terlihat antusias setiap kali mendengarkan cerita papi.
Saya sudah terbiasa dengan superioritas Onye, karena kami memang tumbuh bersama. Saat bersekolah di SD Santo Yoseph Medan, Onye sudah menunjukkan bahwa dia memang cemerlang dan populer.
Saya masih ingat sewaktu kami berdua mengikuti kelas katekisasi, yang waktu itu dibina oleh Pendeta Iskandar dan Albertus Patty. Saa itu Onye sangat sibuk, mengikuti berbagai kegiatan di kampus ITB, sehingga beberapa kali dia tidak bisa hadir di kelas katekisasi. Tak lama setelah itu, kami dibaptis – waktu itu GKI MY masih di SMAK Dago. Setelah sidi, saya meninggalkan Bandung, melanjutkan kuliah di Yogya.
Saya bisa merasakan masa-masa sulit yang dijalani Onye. Karena memang sangat berat bagi seorang yang terbiasa menjadi unggul kemudian hidup dengan mentalitas hamba (Tuhan). Karena seorang yang superior akan selalu menyatakan diri “mampu mewujudkan apa yang saya mau”, sedangkan seorang hamba Tuhan akan selalu “memohon supaya mampu melakukan apa yang Tuhan mau”.
Kenyataannya, Onye sudah melampaui harapan papi. Tidak hanya physically strong, morally straight, mentally awake, tetapi juga setia dan taat kepada Tuhan yang dia sembah sampai akhir hidupnya.
Bagi saya pribadi, sebagai adik sekaligus sahabat, saya belajar untuk memahami bahwa peristiwa yang terjadi di Gunung Salak, 9 Mei 2012 silam, bukanlah suatu tragedi, tetapi itulah cara Tuhan memanggil hambaNya pulang.
Seusai acara Memorial Service: Grace and Serve, 15 Juni lalu, yang bertepatan dengan tanggal lahir Onye, saya sudah menguatkan hati. Tak ada lagi yang perlu dirisaukan, Onye meninggalkan istri yang saleh dan tangguh, serta anak-anak yang hebat.
Kami akan mendukung Kak Indri dalam melanjutkan kehidupan, juga dalam membimbing serta merawat Korin dan Luhut, karena mereka adalah anak-anak kami juga.
Selamat jalan abang terkasih, selamat jalan sahabat yang hebat. Sampai berjumpa lagi kelak di tempat yang sempurna….
Uca’ (Musa Sihombing – Sihombing Junior IV)
It is an honor to know you bang. Walo singkat ku mengenalmu bang namun menjadi berkat.
Selamat telah kembali ke rumah BAPA bang, iri deh aku —kapan yah bisa bersama BAPA seharian penuh beraktivitas bersama, di Surga di rumah BAPA yang kekal nan indah.
Doakan kami disini bang.
Thank you for the sharing Bang.
Lucia